Apa
itu Geisha? Sebagian besar tentu langsung membayangkan sosok wanita Jepang
ber-kimono lengkap dengan dandanan putih tebal dan rambut palsunya. Geisha
sering disalah artikan banyak orang sebagai wanita penghibur atau yang
berkaitan dengan prostitusi. Padahal, arti geisha yang sebenarnya adalah
“seniman” atau “artis”, yang berasal dari huruf kanji gei (seni) dan sha/mono
(orang). Image geisha tidak terlepas dari kimono yang rumit, sanggul palsu
lengkap dengan hiasan daun icho dan kanzashi (jepit rambut),serta make up tebal
berwarna putih. Karena wajahnya yang berwarna putih itu, sekitar abad ke-13,
pada zaman Kamakura, geisha pernah dikenal dengan istilah shirabyoshi. Geisha
yang sudah ada sejak zaman dulu memiliki sejarah panjang.
Pada awalnya istilah geisha
hanya ditujukan untuk para pria yang menjadi houken (pelawak di istana kaisar).
Setelah ada wanita yang berpartisipasi, barulah muncul istilah onna geisha
(geisha wanita) yang selanjutnya disebut sebagai geisha seperti sekarang ini.
Dulu orang yang menjadi geisha biasanya anak yatim piatu atau berasal dari
keluarga tidak mampu yang dibeli oleh ochaya (kedai teh). Sejak kecil mereka
dididik oleh okamisan (istilah “mama” yang mengelola ochaya) untuk mengerjakan
pekerjaan rumah tangga , dan lama-kelamaan diangkat menjadi asisten geisha
senior. Selama masa training, mereka ditempatkan dan dipekerjakan dirumah
seorang seniman sebagai pelayan rumah tangga. Lamanya training ini bisa
mencapai beberapa tahun hingga mereka bissa menjadi seorang geisha. Selama
bekerja disanalah mereka mulai mempelajari dan mengamati apa yang dikerjakan si
seniman, yang dijadikan bekal untuk mereka kelak.
Lain halnya dengan dulu,
geisha di zaman modern ini tidak lagi berasal dari keluarga miskin atau yatim
piatu. Siapapun dapat menjadi geisha. Namun, yang pasti mereka dituntut untuk
menguasai berbagai kesenian Jepang tradisional, mulai dari ikebana (seni
merangkai bunga), chanoyu (upacara minum teh), menari tarian tradisional,
kaligrafi, membuat puisi, bermain alat musik tradisional shamisen (sejenis
banjo bersenar tiga), kodaiko (drum kecil yang dimainkan dengan menggunakan
stik kayu), hingga mempelajari bahasa Inggris.
Di Kyoto, anak gadis yang
magang menjadi geisha di sebut maiko. Biasanya usia maiko berkisar antara 15-20
tahun. Para maiko ini dilatih untuk menemani geisha senior melayani tamunya di
kedai teh atau undangan pesta hanya sekedar menyajikan minuman, mengobrol
dengan tamu, dan tampil menunjukkan kemampuan seninya, yaitu tachikata dan
jikata. Tachikata yang menampilkan tarian tradisional Jepang biasanya dilakukan
oleh para maiko, sedangkan jikata kebanyakan dilakukan oleh geisha senior
dengan menampilkan nyanyian atau permainan musik tradisional. Setelah berusia
20 tahun, para maiko harus memutuskan apakah mereka akan menjadi geisha atau
tidak. Apabila kelak mereka menikah, mereka tidak boleh lagi menjadi geisha.
Harga yang dibayar untuk menyewa geisha cukup mahal, dan tidak sembarangan
orang dapat menyewa geisha, kecuali orang yang mempunyai relasi dekat dengan
okamisen. Satu hal yang perlu diketahui, para geisha tidak menyajikan makanan,
membicarakan hal-hal lain diluar pesta, apalagi bekerja one night stand untuk
tamunya.
Sekarang ini jumlah geisha
di Jepang menurun drastis. Jika pada tahun 1920-an jumlah geisha di
Jepang mencapai 80 ribu orang, sekarang ini jumlah geisha kurang dari 10
ribu orang. Di samping pengaruh masuknya budaya Barat, penyebab lainnya adalah
berkurangnya orang yang tertarik menjadi geisha. Hal itu disebabkan
karena harus mengikuti proses training yang memakan waktu lama dan detail.
Selain itu mahalnya sewa geisha membuat orang-orang memilih alternatif
hiburan lain pada pesta mereka. Walau sudah langka, para geisha moderen
masih bisa ditemukan di distrik geisha Kyoto dan Tokyo. Demikian juga
dengan maiko yang banyak ditemukan di distrik Kyoto, seperti Gion dan
Ponthoco, dan distrik Higashi Geisha di Kanazawa.
0 komentar:
Posting Komentar