Popular Posts--------------------------------------

Geisha

Posted by Unknown
On Mei 06, 2013

Apa itu Geisha? Sebagian besar tentu langsung membayangkan sosok wanita Jepang ber-kimono lengkap dengan dandanan putih tebal dan rambut palsunya. Geisha sering disalah artikan banyak orang sebagai wanita penghibur atau yang berkaitan dengan prostitusi. Padahal, arti geisha yang sebenarnya adalah “seniman” atau “artis”, yang berasal dari huruf kanji gei (seni) dan sha/mono (orang). Image geisha tidak terlepas dari kimono yang rumit, sanggul palsu lengkap dengan hiasan daun icho dan kanzashi (jepit rambut),serta make up tebal berwarna putih. Karena wajahnya yang berwarna putih itu, sekitar abad ke-13, pada zaman Kamakura, geisha pernah dikenal dengan istilah shirabyoshi. Geisha yang sudah ada sejak zaman dulu memiliki sejarah panjang.





Pada awalnya istilah geisha hanya ditujukan untuk para pria yang menjadi houken (pelawak di istana kaisar). Setelah ada wanita yang berpartisipasi, barulah muncul istilah onna geisha (geisha wanita) yang selanjutnya disebut sebagai geisha seperti sekarang ini. Dulu orang yang menjadi geisha biasanya anak yatim piatu atau berasal dari keluarga tidak mampu yang dibeli oleh ochaya (kedai teh). Sejak kecil mereka dididik oleh okamisan (istilah “mama” yang mengelola ochaya) untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga , dan lama-kelamaan diangkat menjadi asisten geisha senior. Selama masa training, mereka ditempatkan dan dipekerjakan dirumah seorang seniman sebagai pelayan rumah tangga. Lamanya training ini bisa mencapai beberapa tahun hingga mereka bissa menjadi seorang geisha. Selama bekerja disanalah mereka mulai mempelajari dan mengamati apa yang dikerjakan si seniman, yang dijadikan bekal untuk mereka kelak.



Lain halnya dengan dulu, geisha di zaman modern ini tidak lagi berasal dari keluarga miskin atau yatim piatu. Siapapun dapat menjadi geisha. Namun, yang pasti mereka dituntut untuk menguasai berbagai kesenian Jepang tradisional, mulai dari ikebana (seni merangkai bunga), chanoyu (upacara minum teh), menari tarian tradisional, kaligrafi, membuat puisi, bermain alat musik tradisional shamisen (sejenis banjo bersenar tiga), kodaiko (drum kecil yang dimainkan dengan menggunakan stik kayu), hingga mempelajari bahasa Inggris.


Di Kyoto, anak gadis yang magang menjadi geisha di sebut maiko. Biasanya usia maiko berkisar antara 15-20 tahun. Para maiko ini dilatih untuk menemani geisha senior melayani tamunya di kedai teh atau undangan pesta hanya sekedar menyajikan minuman, mengobrol dengan tamu, dan tampil menunjukkan kemampuan seninya, yaitu tachikata dan jikata. Tachikata yang menampilkan tarian tradisional Jepang biasanya dilakukan oleh para maiko, sedangkan jikata kebanyakan dilakukan oleh geisha senior dengan menampilkan nyanyian atau permainan musik tradisional. Setelah berusia 20 tahun, para maiko harus memutuskan apakah mereka akan menjadi geisha atau tidak. Apabila kelak mereka menikah, mereka tidak boleh lagi menjadi geisha. Harga yang dibayar untuk menyewa geisha cukup mahal, dan tidak sembarangan orang dapat menyewa geisha, kecuali orang yang mempunyai relasi dekat dengan okamisen. Satu hal yang perlu diketahui, para geisha tidak menyajikan makanan, membicarakan hal-hal lain diluar pesta, apalagi bekerja one night stand untuk tamunya.

Sekarang ini jumlah geisha di Jepang menurun drastis. Jika pada tahun 1920-an jumlah geisha di Jepang mencapai 80 ribu orang, sekarang ini jumlah geisha kurang dari 10 ribu orang. Di samping pengaruh masuknya budaya Barat, penyebab lainnya adalah berkurangnya orang yang tertarik menjadi geisha. Hal itu disebabkan karena harus mengikuti proses training yang memakan waktu lama dan detail. Selain itu mahalnya sewa geisha membuat orang-orang memilih alternatif hiburan lain pada pesta mereka. Walau sudah langka, para geisha moderen masih bisa ditemukan di distrik geisha Kyoto dan Tokyo. Demikian juga dengan maiko yang banyak ditemukan di distrik Kyoto, seperti Gion dan Ponthoco, dan distrik Higashi Geisha di Kanazawa.







Related Post

 

0 komentar:

Posting Komentar